Tuesday, April 13, 2010

Bumi dan Langit

Akhir minggu kemarin kita disuguhi tanyangan sepakbola yang mutu dan kelas bagai bumi dan langit. Di Anteve, jam 19.00 Persik menjamu Persitara, sementara malamnya, jam 22.00 Real Madrid Vs Barcelona. Memang bukan pada tempatnya untuk membandingkan, tapi setidaknya saya hanya ingin memaparkan betapa parahnya persepakbolaan kita. Di laga lokal yang mengusung target sama-sama ingin lolos dari zona degradasi, permainan sangat keras dan menjurus kampungan. Aksi Saktiawan Sinaga yang mentekel dari belakang Mboma, atau juga sundulan kepalanya ke kepala pemain belakang Persitara asal Korsel, benar-benar menyiratkan betapa pemain lokal kita sama sekali tidak punya perasaan untuk memajukan sepakbola, apalagi memuaskan hasrat penonton untuk menyaksikan pertandingan bermutu. Sementara di sisi lain, duel El Clasicco benar-benar seperti sebuah orkestra yang saling sahut menyahut menyentak namun tetap penuh harmoni yang mampu menyihir penontonnya untuk terhanyut dalam irama permainan mereka.

Sungguh ironi, liga ISL yang dianggap dan digadang-gadang sebagai kasta tertinggi di kancah kompetisi sepakbola kita, masih belum bisa menampilkan apa yang kita semua pecinta sepakbola tanah air harapkan. Permainan keras dan kasar masih mendominasi. Bahkan bisa kita perhatikan, tidak ada 1 menit berlalu tanpa pelanggaran keras. Hal ini lebih diperburuk lagi oleh mutu wasit dan asisten wasit yang rendah, permisif dan terkadang lamban. Pemain seolah-olah kebal terhadap kartu merah, sehingga tenang saja jegal sana jegal sini, karena paling-paling hanya kena kartu kuning. Saya melihat, mungkin wasit pun mengalami dilema. Ingin tegas tapi takut tidak dipakai lagi. Lihat saja ketegasan yang ditunjukkan oleh Jimmy Napitupu lu (dulu), saya rasa hal ini yang membuat dia jarang tampil menjadi pengadil lapangan, karena para pemilik klub enggan menggunakan wasit yang tegas seperti dia. Maka sekarang pun Jimmy jadi ikut-ikutan lunak. Mungkin berpikir daripada nggak makan, mending ikutin aja permainan mereka.

Saya yakin, yang menyebabkan kemerosotan sepakbola kita adalah Wasit kita yang kurang tegas dan kurang trampil, sehingga permainan cenderung menjadi kasar dan negatif. Pemain asing pun seperti takut untuk mempertontonkan kepiawaian mereka dalam mengolah si kulit bundar. Akibatnya, permainan jadi kampungan dan berimbas pada permaian tim nasional yang juga tidak kurang kampungannya. Saya tahu, jadi wasit memang tidak mudah, tapi PSSI punya dana dan resources. Kenapa tidak kita sekolahkan saja wasit-wasit itu keluar negeri kalau perlu. Saya ragu kalau para pengurus PSSi menonton pertandingan-pertandingan ISL. Yang mereka khawatirkan cuma, bagaimana supaya mereka tidak dicopot dalam kepengurusan yang baru.

Untuk Komdis, tayangan televisi cukup untuk menjatuhkan sanksi seperti apa yang dilakukan oleh Saktiawan, maupun Mahyadi.

Wednesday, December 31, 2008

Profile Pemain Timnas

Berikut saya ingin menyampaikan sedikit pandangan saya tentang pemain timnas Indonesia :

Bambang Pamungkas
Pemain yang satu ini jelas punya kelas, visi, dan skill. Sundulan dan tendangan baik umpan maupun eksekusi cukup baik, kecepatan lumayan, ketenangan dan mental juga baik. Cuma kekurangannya, postur kurang memadai sebagai striker, bermain terlalu salon, tidak mau 'nakal', sering kelihatan 'ja'im', mungkin karena sadar jadi sorotan kamera. Daya jelajah kurang, dan kurang bisa mengintimidasi pemain belakang lawan. Harusnya, lebih berani untuk mencoba melewati bek lawan, agar musuh jadi sedikit gentar.

Budi Sudarsono
Punya kelas, kecepatan, skill, licin, tendangan akurasi tinggi, kontrol bola lumayan bagus. Kekurangan, sering keasyikan main sendiri, walau mungkin hal ini karena memang pemain lain tidak ada yang ikut bantu menyerang (?), yang jelas sering peluang jadi terbuang karena si ular phyton ini telat mengirim umpan (Indonesia - Thailand, AFF 2008, Jkt). Kekurangan lainnya, postur tubuh kecil untuk seorang striker Asia.

Ponaryo Astaman
Dulu, pemain ini kelihatan sangat berbakat dan mumpuni sebagai pemain tengah, jenderal lapangan, (walau tidak sehebat Fachri Husaini). Tapi belakangan setelah menikah, permainannya jadi standar, tidak lebih bagus dari tipikal pemain tengah liga kita. Tendangan juga jarang menemui sasaran, dan tidak ada lagi 'cannon ball'. Sepertinya, beliau harus segera membenahi penampilannya kalau tidak mau digantikan oleh pemain lainnya.

Eka Ramdhani
Terlalu pendek untuk ukuran pemain sepakbola nasional, kalau ingin berprestasi internasional, jadi sebaiknya timnas harus mencari penggantinya yang lebih punya postur.

Markus Horison Maulana
Namanya lagi 'ngetop' saat ini. Tapi bukan markus itu yang saya maksud. Markus ini adalah penjaga gawang nasional kita. Dengan postur yang cukup menjanjikan, Markus cukup bisa diandalkan untuk menjadi seorang penjaga gawang. Cuma kadang-kadang senyumnya yang terlalu sering diumbar menjadi kelihatan dia sedikit agak meremehkan lawan, dan kelihatan seperti dia tidak begitu serius. Lainnya, dia juga sering mengulur-ulur waktu sehingga membuat saya sebagai penonton muak. Secara teknis, masih harus banyak belajar mengantisipasi umpan-umpan lambung diagonal.

Isnan Ali & Charis Yulianto
Kedua pemain belakang ini tipenya sama. Sama-sama kurang memakai otak dalam permainan. Keras dan kasar, dan justru sering mudah dilewati karena sering keluar emosinya. Kalau di ISL, bek seperti tukang tebas ini memang sangan berguna, tapi di level resmi yang lebih tinggi, pemain dengan gaya seperti ini sangat merugikan tim karena bisa membuat gatal wasit internasional untuk meng-kartumerah-kan keduanya.

Yang lainnya menyusul, tapi yang jelas problem utamanya pemain kita adalah postur tubuh kurang memadai. Yah, itulah, karena di masyarakat kita, yang badannya tinggi lebih memilih main basket, lantaran permainan sepakbola di negeri kita masih dianggap terlalu liar dan kasar, juga berbahaya.

Tuesday, December 30, 2008

Akhir dari Sarana 'Interaktif' PSSI

Akhirnya, lembar komentar di www.pssi-football.com ditutup.. Jadi, habis deh sarana kita untuk saling ejek, saling maki, dan kirim saran ke PSSI. Cukup disesalkan, tapi ya rasanya memang harus seperti itu sepertinya. Mengingat kasarnya kata-kata yang dituliskan oleh rekan-rekan yang sakit hati. Dan banyak pula yang tidak jelas juntrungannya dan hanya memaki seperti orang barbar biadab yang tak mengerti sopan santun. Anehnya, PSSI tidak membuat atau menentukan seseorang sebagai moderator yang harusnya bisa mem-filter semua itu. Sehingga, harusnya sarana 'interaksi' itu bisa tetap dipelihara, namun di-filter pula dari kata-kata kasar tak berpendidikan dari para mania, yang saya yakin sebenarnya kalau bisa mereka akan mengeluarkan kata-kata yang lebih kasar lagi saking kecewanya mereka dengan PSSI, jajarannya, ketua umumnya, maupun Timnas-nya yang benar-benar tak bisa jadi kebanggaan hati.
Tiga kejuaraan terakhir, Piala Kemerdekaan, Piala Royale Challanger, Piala AFF 2008, semuanya berakhir mengecewakan, kalau tidak bisa dibilang memalukan. Piala Kemerdekaan, cukup bagus di awal, tapi finalnya sungguh memilukan, lantaran tim tamu Libya, memilih 'ngalah' daripada babak belur. Cukup masuk akal memang, walau agak kekanak-kanakan. Tapi saya yakin kalau pertandingan diteruskan, kita tidak bakalan menang.
Piala Royale Challanger, cukup aneh juga, dimana kita mati-matian harus memenangkan pertandingan melawan tim-tim lemah yang datang dengan pemain-pemain muda, untuk akhirnya kalah di final. Cukup menyebalkan, lantaran pemain kita seperti bermain tanpa pola dan sporadis seperti anak-anak kampung yang baru belajar main bola.
Piala AFF 2008, benar-benar memalukan, ditopang pemain-pemain bangkotan, kita tak mampu tampil baik melawan anak-anak muda negeri tetangga. Benar-benar permainan yang melelahkan. Bandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang bermain dengan irama yang kompak didukung teknik dan kerjasama yang cukup tinggi. Akhirnya, bisa ditebak, dengan berbekal tekad dan semangat saja, tidak cukup untuk melaju ke final. Bahkan dari segi permainan, kita sungguh-sungguh dibawah Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Dari sini kita dapat melihat, bahwa sesungguhnya keterampilan pemain kita tidak kalah dengan negara lain, tapi sayang, mental yang tidak tegar. Kita selalu terintimidasi, akhirnya, permainan jadi kasar, kaku, dan otomatis fisik lebih cepat terkuras karena kita panik. Satu hal yang paling menonjol adalah kekalahan postur rata-rata pemain kita yang banyak kurang memadai dibandingkan pemain dari kesebelasan lain. Karena ini permainan fisik, jadi tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh.
Entah apa yang ada di benak para petinggi PSSI, saya yakin merekapun berpikir siang malam untuk memajukan sepakbola Indonesia, tapi saya rasa saat ini sudah saatnya bagi mereka untuk mencoba pandangan dari orang lain. Get second opinion, get professional help, buka pandangan dan wawasan kita. Jangan buta karena masalah nasionalisme semata. Ini hanya permainan, maka bermainlah. Tak perlu emosi walau memang demi mempertahankan gengsi dan prestasi, tapi tetap harus dalam koridor norma yang wajar dan sportif. Jangan ada lagi pelatih lawan dipukuli seperti di Piala Kemerdekaan, jangan ada lagi wasit dikejar-kejar dan diprotes dengan kasar, dan hal-hal buruk lainnya yang sama sekali justru merugikan nama baik kita itu sendiri.
Sudah saatnya kita tidak berpikir Asia Tenggara, kita harus berpikir Asia bahkan dunia. Bayangkan perbedaan jumlah penduduk dan sumber daya alam kita dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, benar-benar, saya merasa kita seperti anak bongsor yang bodoh dalam kelas...
God.. please help..